Kalimat “Tauhid” secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fiil Wahhada-Yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya”
Secara istilah syari, makna Tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya. Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.
Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil Tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.
Tauhid merupakan konsep monoteisme Islam yang mempercayai bahawa Tuhan itu hanya satu. Tauhid ialah asas Aqidah. Dalam bahasa Arab, "Tauhid" bermaksud "penyatuan", sedangkan dalam Islam, "Tauhid" bermaksud "menegaskan penyatuan dengan Allah". Lawan untuk Tauhid ialah "mengelak daripada membuat", dan dalam bahasa Arab bermaksud "pembahagian" dan merujuk kepada "penyembahan berhala".
Tauhid menurut bahasa artinya mengetahui dengan sebenarnya Allah itu Ada lagi Esa. Menurut istilah, tauhid ialah satu ilmu yang membentangkan tentang wujudullah (adanya Allah) dengan sifat-Nya yang wajib, mustahil dan jaiz (harus), dan membuktikan kerasulan para rasul-Nya dengan sifat-sifat mereka yang wajib, mustahil dan jaiz, serta membahas segala hujah terhadap keimanan yang berhubung dengan perkara-perkara sam‟iyat, iaitu perkara yang diambil dari al-Quran dan Hadis dengan yakin.
Dinamakan ilmu ini dengan Tauhid, adalah karena pembahasan – pembahasanya yang paling menonjol, Ialah pembahasan tentang ke-Esahan Allah yang menjadi sendi asasi agama Islam, Bahkan sendi asasi bagi segala agama yang benar yang telah dibawakan oleh para Rosul yang diutus Allah.
|
Tauhid - Allah |
Kemudian ditegaskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqadimah bahwa kata Tauhid mengandung makna keesaan Tuhan. telah dipahami bersama bahwa setiap cabang ilmu pengetahuan itu telah mempunyai obyek dan tujuan tertentu karena itu setiap cabang ilmu pengetahuan juga masing-masing mempunyai batasan-batasan tertentu pula. Demi batasan-batasan tertentu pengaruhnya adalah sangat besar bagi para ilmuan dan cendikiawan di dalam membahas, mengkaji, dan menelaah obyek garapan dari suatu cabang ilmu pengetahuan. Begitu juga halnya kajian ilmu Tauhid yang telah di paparkan oleh para ahli sebagai berikut.
a. Syekh Muhammad Abduh mengatakan bahwa :
ilmu tauhid ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah dan sifat wajib ada pada-Nya dan sifat yang tidak halus pada-Nya (Mustahil), ia juga membahas tentang para rasul untuk menegaskan risalahnya, sifat-sifat yang wajib ada padanya yang boleh ada padanya (Jaiz) dan yang
tidak boleh ada padanya ( Mustahil).
b. Syekh Husain Affandi Al-Jisr AL-Tharablusy menta‟rifkan sebagai berikut : Ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas atau membicarakan bagaimana menetabkan aqidah (agama Islam) dengan mengunakan dalil dalil yang menyakinkan.
Dengan demikian ilmu Tauhid adalah salah satu cabang ilmu studi keislaman yang lebih memfokuskan pada pembahasan wujud Allah dengan segala sifatnya serta para Rosul-Nya, sifat-sifat dan segala perbuatanya dengan berbagi pendekatan.
Batasan makna “ Al-Tauhid” menurut bahasa adalah menyakini ke-Esa-an Tuhan. Atau menganggap hanya ada satu, tidak ada yang lain. Dalam hubungannya dengan agama Islam, Menurut istilah, Ia bermakna bahwa di dunia ini hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah Rabbul „alamin. tidak ada yang disebut Tuhan, atau di anggap sebagai Tuhan, atau di nobatkan sebagai Tuhan, selain Allah Swt. Jadi semua yang ada disemesta ini, adalah makhaluk belaka. Tidak ada boleh ada kepercayaan yang menginap dalam hati, bahwa selain-Nya ada yang pantas atau patut buat dipertuhan. Pula nama Tuhan selain Allah, Wajib tidak ada . Jika masih ada sedikit aja kepercayaan selain-Nya, harus dikikis habis. Inilah yang disebut monoteisme. yakni hanya percaya pada “Satu Tuhan”.
Tauhid mengetahui dan menyaakinkan bahwa Allah itu tunggal tidak ada sekutunya. Sejarah menunjukan, bahwa pengertian manusia terhadap terhadap Tauhid itu sudah tua sekali, yaitu sejak utusannya nabi adam kepada anak cucunya. Tegasnya sejak permulaan manusia mendiami bumi ini, sejak itu telah diketahui dan diyakini adanya dan esanya Allah ta‟ala, pencipta alam ini.
Ke-Esa-an Allah sebagai Tuhan (Rabbun) bukanlah seperti sebuah sapu lidi, yang kenyataanya terdiri dari beberapa batang lidi yang diikat menjadi satu, sedang antara satu dengan yang lain, masih terpisah sendiri-sendiri. Tidak, juga tidak sama dengan sebatang rokok yang kenyataanya terdiri dari selembar kertas, tembakau atau cengkeh, Yang kalau dipisahkan satu dengan yang lain tidak lagi
bernama sebagai rokok. Masing-masing mempunyai sifat tersendiri. Pula tidak sama dengan selembar kertas yang diolah dari beberapa unsur menjadi satu dan terpadu. Jadi, Ke-Esa-an Allah tidak terdiri dari beberapa benda yang disatukan, baik bisa diuraikan lepas kembali atau tidak. Dan tidak sama dengan air yang bisa dibagi-bagi atau sebatang lidi yang dapat di potong-potong. di sinilah selain Allah
dengan semua makhaluk yang terdapat di alam ini. dalam ilmu Aqoid, sifat itu dikenal dengan istilah “Mukhalafah Lil Al-Hawadisi – berbeda dengan sesuatu yang bersifat baru”
Ilmu Tauhid sebagaimana diketahui adalah ilmu yang membahas ajaran dari suatu Agama. Bagi setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluknya secara mendalam, Maka perlu mempelajari imu Tauhid yang terdapat pada agama yang di anut.
Kerasulan nabi Muhammad saw. adalah untuk mengembalikan dan kepemimpinan kepada tauhid, mengakui ke-esaaan Allah swt. dengan ikhlas dan dengan semurni-murninya, sebagai yang di bawa dan diajarkan nabi Ibrahim dahulu, agama sebenarnya tidak asing lagi bagi bangsa arab. Tauhid yang diajarkan Muhammad ini adalah sebagai yang digariskan dalam Alquran dan Hadis.
Karena segala sifat-sifat Allah, telah terkandung dalam alquran, maka tidak perna orang dimana itu menanyakan sifat-sifat Allah kepada nabi. mereka hanya menanyakan soal-soal yang mengenai ibadah (sembayang, puasa, haji, dan lain-lain amal sholeh).
Tidak terdapat dalam hadis atau astar-astar yang membuktikan di antara sahabat yang menyelidiki kepada rosul tentang sifat-sifat Allah atau kedudukan sifat-sifat Allah, adakah ia sifat zat atau sifat fi‟il. mereka semua semufakat menetabkan bahwa sifat-sifat Allah ta‟ala itu azali. yaitu : ilmu, qudrat, hayat, iradah, sama‟ basar, kalam atau sebagainya. dimasa sahaba, ketauhitan sedikit pun
tidak ada bedanya dengan dizaman nabi. sampai akhir abad pertama hijriyah, barulah mulai ada kegoncangan-kegoncangan, karen munculnya seorang yang bernama : jaham ibnu shofyan di negeri persia yang tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah Ta‟ala seperti : Ilmu, Qodrat dan sebagainya. banyak diantara kaum muslimin yang terpengaruh oleh ajaran itu, bahkan ada yang menguatkanya.
Adapun kaum muslimin yang tetap murni ketauhitannya, bangun menentang pendapat jaham, dan menyatakan bahwa pendapat itu “ sesat” beberapa tokoh tampil mengyangal alasan-alasan dan pendapat jaham ibnu Shofyan.
Dikala ulama-ulama sibuk membicarakan dalil untuk menolak pendapat Jaham, tiba-tiba timbul suatu aliran yang bernama mu‟tazilah yang dicetuskan oleh Wasil Ibnu Atha‟ seorang murid dari al hasan Ibnul Husin al-Bisrhri, yang menguatkan atau membenarkan pikiran jaham yaitu : menafikat sifat-sifat Allah swt.
Kita mengetahui, bahwa setelah nabi wafat, pemerintahan dipegang oleh khulafaurrasyidin semenjak tahun 11-40 H. Kemudian oleh kholifah umawiyah semenjak tahun 40-132 H. Setelah itu oleh daulah Abbasyah semenjak 132 H.
Sejak akhir pemerintahan umawyah, dunia islam mulai (jebol) kemasukan budayaan-kebudayaan asing yang datang dari Persia, Yunani, India, dan sebagainya. dikala pemerintahan abbasiyah, yaitu masa kholifah makmun, ummat islam telah sampai kepuncak kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang tinggi.
Segala kitab-kitab ilmu pengetahuan, kebudayaan dan falsafah, terutama yang datang dari yunani diterjemahkan dalam bahasa arab. ilmu mantiq atau ilmu logika, adalah yang perna kali diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Dari sejak masuknya kebudayaan asing itu, lahirlah perbedaan-perbedaan pandangan dalam ilmu Tauhid. Dimasa itu timbul golongan-golongan : Jahamiah, Karomyah, Murjiah, Khawarij, dan Mu‟tazilah. Golongan-golongan ini senantiasa berdebat tunduk menundukkan, kafir mengkafirkan. Terutama ahli sunnah, yang banyak musuhnya, semua ribak menjadi lawanya.
Akan tetapi dizaman kholifah Makmun semua aliran-aliran itu boleh dikatakan lenyap atau tak berpengaruh lagi, demikian pula ahli sunnah waljama‟ah. Mu‟tazilah sajalah yang subur hidupnya sebab dikosong dan dilindungi oleh kholifah Makmun.
Setelah kholifah Makmun wafat, di bawah kholifah-kholifah pengantinya mulai timbul kembali aliran-aliran yang dahulunya tertekan dan tak berpengaruh. Mu‟tazilah tidak mendapat lindungan dan pembelaan lagi, bahkan mengalami serangan-serangan dan kemunduran.
Dimasa itulah tumbuh mazhab yang hanya berpegang pada hadis-hadis rasul saja, yang dinamakan mazhab Mahadistin. Golongan Mu‟tazilah terus menerus mengalami kemunduran sehingga muncul seorang pemimpin golongan ahli sunnah, yang benama imam Asy‟ary.
Dizaman imam Asy‟ari ini semua mazhab dikatakan lumpuh tak berdaya, apalagi setelah timbul musuh baru yang lebih kuat, yaitu golongan ahli falsafah yang kemudian golongan falsafah ini dihancurkan oleh seorang pendekar islam yang bernama imam Ghozali.
Imam Ghozali bukan melarang orang berfalsafah, tetapi janganlah orang mencampur-baurkan falsafah dengan agama, terutama ketauhitan. dan supaya itu jangan mempengaruhi agama, apalagi falsafah yang mungkin bertentangan dengan agama.
Yang menentang pencampur-adukkan agama dengan falsafah itu, bukan imam Ghozali saja, tetapi banyak tokoh-tokoh dibelakangnya yang hendak membendung pengaruh falsafah terhadap agama. Diantaranya ialah Fakhruddin ar-Rozi dan ibnu Taimyah dan lain-lain.
Dengan demikian, manusia membutuhkan Tauhid yang lain, yaitu Tauhid ibadah atau Tauhid ilahiyah. Tauhid tersebut menjadikan Allah sebagai Tuhan yang harus di sembah dan di mintak pertolongan. Tidak ada yang berhak disembah dan dimintak pertolongan kecuali dia.
Allah Subhanahu Wa Ta‟ala berfirman :
Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.
Oleh karena itu, tugas pertama para Nabi adalah mengajak manusia kepada ajaran Tauhid (terutama Tauhid ibadah), Bukan mengakui tentang keberadaan Allah. karena, pengakuan tentang keberadaan Allah adalah hal yang tidak diragukan bagi seluruh umat manusia. tugas yang di bawah oleh para nabi adalah memerangi kemusyrikan, bukan Atheisme.
Seruan pertama yang dilakukan oleh para Nabi adalah “ Wahai Kaumku, Sembalah Allah Yang Maha Esa.” Setuan tersebut dilakukan oleh Nuh, Hud, Saleh, Shuaib, dan seluruh Nabi lainya.
Ketika berfirman kepada nabi Muhammad, Allah Subhanahu Wa Ta‟ala berfirman, “Dan kami tidak mengutus seorang rosul sebelum kamu melaikan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidk ada tuhan melaikanku,maka sembahlah aku oleh kamu semua.” (Al-Anbiya‟ : 25).
Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.
Dua kalimat “Allah dan jauhilah Thagut” adalah dasar pembebasan manusia untuk menyembah selain Allah baik menyembah kepada diri sendiri, Hawa nafsu, Alam, Benda mati, Angan-angan, Kebatilan, Maupun pemuka agama. ketika mensifati ahli kitab, Allah Subhanahu Wata‟ala berfirman : “ mereka menjadikan orang-orang Alim, Rahib-rahib, dan Al-Masih putra Mariyam sebagai tuhan-tuhan selain Allah. padahal, mereka hanya disuruh untuk menyembah Allah yang maha Esa. tidak ada Tuhan – yang berhak disembah- melainkan Dia. Maha suci Allah dari hal yang mereka sekutukan.” (At-Taubah : 31).
Akidah ketiga yang di ajarkan dalam dasar ini adalah mensucikan Allah Subhanahu Wata‟ala. Dari hal yang tidak layak dengan sifatnya yang maha Sempurna. Dia adalah Tuhan yang memiliki kesempurnaan dan jauh dari kekurangan.
Al-Quran menyebutkan sifat kesempurnaan-Nya dngan bahasa” dia memiliki nama-nama yang paling indah .” Dalam awal surat Thaha. Allah berfirman:
Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang baik),
A. Hanafi dalam bukunya teologi Islam menyatakan Tauhid sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada masa Nabi Muhammad Saw. maupun pada masa sahabat-sahabatnya. Melainkan baru dikenal jauh setelah kewafatan Nabi Muhammad Saw atau dikemudiannya setelah ilmu-ilmu keislaman yang lain satu-persatu muncul, dibarengi dengan tumbuhnya kecenderungan umat Islam
mendalami masalah-masalah alam Ghaib/ Metafisika.
Masa Nabi Saw adalah masa hukum penetapan Aqidah, Beliau berusaha untuk mempersatukan bagsa Arab yang sebelem Islam datang selalu timbul perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah di antara suku-suku Bangsa, di samping itu dimasa Nabi Saw. Umatnya senantiasa berusaha menemui beliau untuk mengetahui pokok-pokok hukum Agama, sehingga apabila terdapat sedikit
persoalan mereka segera mendapatkan penyelesaiannya.
Lebih lanjut Ibnu Kholdun menegaskan dalam bukunya Muqodimah, Agama pada mulanya belum memerlukan ilmu dan kecenderungan, melainkan agama masih merupakan hukum-hukum syar‟i dalam bentuk perintah danlarangan Tuhan, dan kebanyakan orang Islam hafal akan hukum-hukum tersebut serta tahu sumbernya ialah Quran dan Hadis. Waktu itu orang islam masih terdiri dari orang-orang arab Jahili yang tidak kenal pengajaran, karang mengarang dan pembukuan ilmu. Mereka belum ada keinginan untuk itu, Karena memang belum dibutuhkan kecuali pencatatan terhadap ayat-ayat Quran. Jadi orang Islam pada saat itu masih besikap Sami‟na Wa Atha‟na.
Namun setalah Nabi SAW. wafat tampaknya orang-orang yang akan mengatas namakan golongan memecahkan masalah, siapa yang berhak mengantikan jabatannya dan bagaimana pula syarat-syaratnya. Inilah yang merupakan suatu aspek mulai pertama kali timbul pemikiran di kalangan umat Islam. Dari golongan Muhajirin menghendaki pengantian Nabi SAW harus dari golongan mereka. Sebaliknya Anshor pun begitu, dan keluarga Nabi SAW. menuntut atau dari golongan syi‟ah menghendaki agar Ali Ra. sebagai penganti Nabi SAW. sedangkan Khawarij dan Mu‟tazilah berpendapat yang berhak memegang jabatan adalah orang yang terbaik dan cakap meskipun bukan orang Arab Quraisy. selain itu, Mayoritas umat Islam berpendapat bahwa yang berhak
memangku jabatan Imamah adalah orang yang paling cakap dari golongan Quraisy. Hal ini berdasarkan penyataan Nabi SAW. sendiri.
Dengan demikian prinsip Samina Wa Athana di masa Nabi SAW. Rusak tengelam dalam lembah perdebatan dan perselisihan. Orang-orang kemudian mulai mencari ayat-ayat Quran dan Hadis diperalat sebagai penunjang pendirian pendapat mereka untuk mendapatkan simpatisan dari penduduknya.
Dan setelah faktor politis tersebut mulai muncak hingga peristiwa pembunuhan di kalangan umat Islam atas diri Kholifah Usman Ra. Tahun 661 H. oleh Muh. Ibn Bakar dan Ali Ra. Tahun 661 H. Oleh Abdurrahman Ibn Maljam. kemudian timbullah aspek lain yang dijadikan bahan perdebatan dan berselisih yang akhirnya menjelma jadi wujud berbagai-bagai cabang ilmu pengetahuan keislaman, yang didukung oleh berbagai sekte/aliran yang timbul menyertainya. aspek yang dimaksud di sini adalah ke-Tuhan-an, Mistik, Falsafah, Hukum, sejarah kebudayaan, dan sebagainya yang kesemuanya diorentasikan kepada Islam. Ilmu-ilmu tersebut tidaklah sekaligus muncul dalam bentuk jadi dalam artian belum jelas dasar-dasarnya.
Baru setelah kaum muslimin sekitar 3 Abad melakukan berbagai perdebatan baik sesama kaum Muslimin maupun dengan pemeluk-pemeluk agama lain, hingga kaum Muslimin sampai pada suatu ilmu yang menjelaskan dasar-dasar aqidahnya juga perincian perinciannya.
Dari keterangan tersebut di atas dapat dipahami bahwa sebagai perintis utama faktor-faktor yang membidani atau mempengaruhi lahirnya Tauhid adalah kejadian-kejadian Politis dan Historis, walau di sampingnya itu banyak sebab-sebab lain. Dengan demikian secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat disimpulkan menjadi 2 (dua) bagian baik bersifat agamis maupun non agamis
( kebudayaaan).