Sepanjang sejarah filsafat, ada dua kubu utama, yakni kubu Idealis dan kubu Materialis. Filsuf-filsuf awal Yunani, Plato dan Hegel, adalah kaum Idealis. Mereka melihat dunia sebagai refleksi dari ide, pemikiran, atau jiwa seorang manusia atau seorang makhluk maha kuasa. Bagi kaum Idealis, benda-benda materi datang dari pemikiran. Sebaliknya, kaum Materialis melihat bahwa benda-benda materi adalah dasar dari segalanya, bahwa pemikiran, ide, gagasan, semua lahir dari materi yang ada di dunia nyata.
Kesadaran kita, cara berpikir kita, tabiat-tabiat kita, semua ini adalah akibat dari interaksi kita dengan lingkungan sekeliling kita, yakni dunia materi yang ada di sekitar kita. Petani cara berpikirnya berbeda dengan buruh karena mereka dalam kesehari-hariannya kerja bercocok tanam di sawah, sedangkan buruh harus bekerja di pabrik dengan ratusan buruh lain dan mesin-mesin yang menderu. Oleh karenanya pun metode perjuangan buruh berbeda dengan kaum tani, dan juga kesadarannya. Buruh karena terlempar masuk ke pabrik dalam jumlah ratusan dan ribuan punya
kesadaran solidaritas dan berorganisasi yang pada umumnya lebih tinggi daripada kaum tani. Buruh membentuk serikat-serikat buruh, yang dalam sejarah secara umum merupakan lokomotif sejarah. Sedangkan petani, karena biasanya bekerja terpisah-pisah dalam ladang mereka masing-masing, solidaritas dan kesadaran berorganisasi mereka umumnya lebih rendah.
Akan tetapi materialisme tanpa dialektika adalah materialisme yang formalis dan kaku. Tanpa dialektika, materialisme tidaklah lengkap untuk bisa menjelaskan dunia. Untuk memudahkan memahami dialektika, ada tiga hukum utama gerak dialektika:
a. Perubahan kuantitas menjadi kualitas
b. Kutub berlawanan yang saling merasuki
c. Negasi dari negasi
Perubahan ini jika dicontohkan dalam persenyawaan air, H2O. Air adalah sintesa dari dua bagian hidrogen dengan satu bagian oksigen. Penambahan-penambahan kuantitas antara hidrogen dan oksigen tersebut merubah kualitasnya. Hidrogen dan oksigen saling merasuki, hingga akhirnya tercipta sintesa.
Materialisme historis adalah penerapan materislisme dialektis dalam dunia sosial. Bahwa ternyata masyarakatpun mengalami dialektika. Dialektika itu mengikuti apa yang disebut perkembangan tenaga-tenaga produktif dan hubungan produksinya. Masyarakat akan bergerak dari komunal primitif, masyarakat budak, masyarakat feodal, masyarakat kapitalisme, hingga akhirnya masyarakat sosialisme, serta selangkah lagi yang puncak yakni masyarakat komunal modern atau Komunisme.
Karl Marx menganalisa bahwa masyarakat pertama di dunia adalah masyarakat tanpa kelas, bekerja bersama-sama, hasilnya untuk kepentingan seluruh anggotanya. Inilah masyarakat komunal primitif yang sistem ekonominya bersifat komunal. Alam, alat produksi dan dalam proses produksi yang bersifat kerjasama antara anggotanya. Mereka berburu bersama, mengembara bersama, mengatasi bencana bersama-sama, tidak ada kepemilikan individual atas faktor-faktor produksi.
Di dalam Komunisme primitif, karena semua adalah milik bersama, maka juga tidak ada perbedaan kelas antara yang berpunya dan tidak berpunya, terutama dalam hal kepemilikan alat produksi. Tidak ada kelas-kelas, dan oleh karenanya tidak ada penindasan oleh satu kelas terhadap kelas yang lain.
Di dalam Komunisme primitif, tidak ada yang namanya negara. Tidak ada polisi, tentara, hakim, dan alat-alat pemaksa seperti yang saat ini. Walau demikian, mereka hidup demokratis, keputusan diambil di dalam pertemuan umum. Semua adalah pengambil keputusan dan semua adalah pelaksana keputusan.
Ketika masyarakat komunal primitif menetap, bertani dan beternak, maka terjadi keadaan surplus hasil produksi ekonominya, tidak sebagaimana dalam masyarakat nomaden yang berburu yang selalu menghabiskan hasil produksi ekonominya. Dari sanalah muncul sistem ekonomi barter, mereka saling tukar menukar hasil kerja. Terkadang konflik terjadi, maka diangkatlah ketua kelompok yang mengurusi barter dan menjadi hakim atas perselisihan yang ada, hingga hari-harinya ia bekerja
demikian.
Dari inilah muncul penguasa, yang kemudian karena ia sehari-hari bekerja untuk masyarakatnya, ia mengambil harta dari masyarakatnya, hingga akhirnya berkembang pola kekuasaan negatif, penguasa mengendalikan ekonomi dan sosial menurut kepentingannya. Lebih lanjut, maka hubungan produksi kerjasama menjadi goyah, berubah menjadi konflik serang-menyerang, sehingga lahirlah perbudakan.
Karl Marx menyebut kehancuran masyarakat komunal primitif ini digantikan dengan hubungan produksi kerja pemilikan dan penindasan budak. Ketua kelompok yang menang menjadi tuan budak, anggota yang lemah menjadi kelas budak, dan anggota kelompok yang kuat menjadi penjaga tuan budak. Budaklah yang kemudian diperas dan ditindas untuk menghasilkan barang dagangan dan uang yang sudah muncul pada fase ini.
Tuan budak yang memaksa budak-budak untuk bekerja itu menyebabkan berontaknya kaum budak. Dari sini lahirlah revolusi kaum budak terhadap tuan budaknya. Budak-budak menjadi merdeka, namun kaum budak tidak dapat mengendalikan jalannya revolusi sehingga kembali para tuan budak menguasai keadaan. Budak-budak sudah merdeka, kini menjadi pekerja-pekerja merdeka di ladang-ladang yang dimiliki tuan budak yang sekarang berstatus tuan tanah (tuan feodal). Inilah yang disebut hubungan produksi feodalisme. Di mana tuan tanah berkuasa atas kekuatan sosial-ekonomi. Dari proses ini, Karl Marx menyebutkan bahwa hubungan produksi feodalisme lahir karena hilangnya hubungan produksi kerja pada masyarakat pemilikan budak.
Dalam masyarakat feodalisme, kaum buruh tani tetap hidup dalam kendali tuan tanah. Para tuan tanah kemudian juga mengendalikan kekuasaan negara. Mereka kemudian menindas kaum buruh tani, dan diikat pada tanah garapannya, sehingga tidak mudah berpindah lahan. Penguasa tertinggi dari tuan tanah ini kemudian juga bertugas mempertahankan kepemilikan tanah kaum-kaum feodal di bawahnya, sekaligus meminta upeti dan pajak kepada kaum buruh tani, serta para borjuis (kaum pedagang, pemilik produksi-produksi rumah, atau kaum perantara yang mulai ada pada masa itu).
Permintaan upeti dan pajak itu kemudian memberatkan bagi kaum-kaum tertindas tersebut. Maka dimotori oleh kaum yang berkompeten pada saat itu, maka terjadilah revolusi yang menghancurkan tatanan ekonomi-politik feodalisme. Dalam hal ini muncul revolusi kaum borjuis, yang kemudian menandai lahirnya masyarakat baru, yakni masyarakat kapitalisme. Karl Marx menyebutkan berubah dan berkembangnya tenaga produktif dalam masyarakat feodalisme, diikuti oleh lahirnya masyarakat baru, di mana uang menjadi alat pertukaran dan menjadi kapital (modal), dan manusia (tenaga kerja, buruh) menjadi barang dagangannya.
Masyarakat kapitalisme kemudian menindas kaum buruh, menghisap darah manusia, mengejar keuntungan uang, menimbun barang dagangan sebesar-besarnya. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya tentang latar belakang lahirnya sosialisme. Dari situasi inilah maka akan terjadi revolusi kaum buruh (proletar) terhadap kaum borjuis. Mereka inilah yang akan mewujudkan masyarakat yang Marx sebut sebagai masyarakat sosialisme.
Masyarakat sosialisme ini hubungan produksinya dan tenaga kerja produktifnya berwatak kolektif, tanpa kontradiksi yang antagonis di dalamnya. Jikapun terdapat kontradiski antara tenaga kerja produktifnya dengan hubungan kerjanya, maka diselesaikan dengan penyesuaian, bukan antagonisme. Negara di masyarakat ini mengelola produksi industri dengan prinsip memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri yang mandiri, upah berdasarkan kinierja dengan berbasis pada upah minimum. Masa ini masih ada kelas-kelas yang tersisa dari borjuis dan feodalisme. Tapi secara pasti masyarakatnya bergerak kepada penghapusan kelas-kelas tersebut, hingga menjadi satu kelas, yang kemudian bergerak menuju masyarakat Komunisme.
Masyarakat Komunisme ini lebih tinggi dari masyarakat sosialisme, kelas-kelas lenyap, perbudakan tidak ada, pembagian pekerjaan adil, produksi melimpah sesuai kebutuhan hidup, tenaga kerja tidak lagi menjadi alat produksi semata, namun tenaga kerja itu akan bekerja sesuai dengan kemampuan tanpa takut tidak terpenuhi kebutuhannya. Tidak akan ada lagi kontradiksi atau konflik, masyarakat akan berjalan tanpa kekuasaan negara dan tanpa pula persenjataan untuk melindungi keamanan.
Berbicara filsafat materialisme ini, perlulah dibahas tentang pandangan Komunisme terhadap agama. Ada ulasan dari Franz Magnis-Suseno yang menyatakan bahwa materialisme selalu berarti ateisme. Hal ini disebabkan bahwa kepercayaan materialisme percaya semula apa yang ada hanyalah materi dan apa saja yang ada berkembang dari materi pula. Tidak ada Tuhan yang memang imateri tersebut, sehingga tertolaklah pandangan adanya Allah serta penciptaan dari-Nya. Dengan demikian otomatis tidak ada dasar bagi adanya agama.
Kaum Komunis lebih percaya bahwa agama tidak lain hanyalah hasil perkembangan materialisme hubungan sosial. Karl Marx dalam German Ideology menyatakan bahwa Agama adalah produk kerohanian suatu masyarakat, hasil dari gagasan-gagasan, perlambang-perlambang dan alam kesadaran. Semuanya jelas dibentuk oleh produksi material dan berkaitan erat dengan hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat.
Selanjutnya terlihat bahwa kaum Komunis melihat negatif agama tersebut. Bagi Marx “agama candu rakyat” berfungsi sebagai hiburan dalam situasi buruk, sedang Lenin “agama candu bagi rakyat” berarti agama menjadi sarana yang sengaja dipakai kelas-kelas berkuasa untuk menipu kelas-kelas bawah. Lebih lanjut Lenin menyatakan bahwa kaum sosialisme modern mengabadikan ilmu pengetahuan demi perjuangan melawan kabut keagamaan dan membebaskan buruh dari keimanan akan alam baka, dengan mempersatukan mereka dalam perjuangan untuk kehidupan lebih baik di dunia.
Namun dalam politik praktisnya dalam kaum Komunis kemudian mengalami pergeseran sikap. Sebagaimana sikap Lenin dalam tulisannya, Socialism and Religion, menyatakan bahwa ateisme tidak harus ditekankan dalam kepartaian sebab persatuan dalam perjuangan revolusioner yang nyata dari kelas tertindas demi menciptakan suatu surga di muka bumi adalah jauh lebih penting ketimbang kesatuan pendapat kaum proletar tentang sorga yang akan datang nanti di akhirat.
Lebih cantik lagi bagaimana Rosa Luxemburg seorang aties tulen dalam menarik kaum gereja ke pergerakan sosialisme-Komunisme. Rosa tidak menggelar pertempuran filosofis atas nama materialisme, tetapi mencoba menarik kaum gereja kepada sosialisme melalui ajaran azas-azas asli gereja. Dalam Church and Socialism Rosa menyatakan
“jika mereka memang jujur menerapkan dalam kehidupan kemanusiaan apa yang menjadi asas Kristen yang menyatakan “cintailah tetanggamu seperti kau mencintai dirimu sendiri”, maka tentu mereka akan jujur pula menyambut baik gerakan kaum sosialis. Jika lembaga kependetaan malah mendukung orang-orang kaya yang menghisap kaum tertindas dan orang-orang miskin maka jelas mereka terang-terangan menentang ajaran Kristen; mereka mengabdi bukan kepada Kristus, tetapi kepada Anak Sapi Emas. Para rasul pertama Kristen adalah kaum Komunis yang bersemangat dan Bapak-Bapak Gereja (seperti Basil yang agung dan John Chrysostom) jelas-jelas mencela ketidakadilan sosial. Sekarang
keprihatinan itu diambil alih oleh gerakan kaum sosialis yang membawa injil persaudaraan dan keadilan kepada orang-orang miskin yang menyeru kepada rakyat untuk membangun Kerajaan Kemerdekaan dan ciinta-kasih terhadap sesama.
Demikianlah langkah halus kaum Komunisme dalam menggandeng kaum beragama, yang tentu hal tersebut dapat saja terjadi kepada umat Islam. Hal ini terbukti dari banyaknya kaum Islam yang kemudian masuk dalam lapangan pergerakan Komunisme.