Ifta' atau fatwa adalah menerangkan hukum Allah di muka bumi-Nya, menjelaskan hal halal dan haram yang harus diketahui oleh ummat Islam. Maka dari itu fatwa harus mempunyai dasar atau landasan yang jelas. Adapun dasar hukum Ifta' sebagaimana yang telah disepakati oleh para Ulama’ adalah: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Ma'qul (akal).
1. Dalil Al-Qur'an
Di dalam al-Qur'an banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang fatwa, baik menggunakan teks, "yastaftunaka" atau "yasalunaka" seperti:
" Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah ".
" Tanyakanlah (ya Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Mekah): "
" (Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): "Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk "
" Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji"
" Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan.Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikankepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin"
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Padakeduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
"maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui".
|
Dalil Al-Qur'an |
Namun tidak semua bentuk meminta fatwa tersebut harus menggunakan teks "yas’alunaka" atau "yastaftunaka" sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra berkata: suatu ketika seorang laki-laki datang kepada kepada Rasulullah saw dan berkata: wahai Rasulullah sesungguhnya jika saya makan daging ini maka kemaluanku berdiri (Intisyar) padahal saya telah mengharamkan daging ini atas saya.Kemudian turunlah ayat al-Qur'an:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
2. Dalil al-Sunnah
Adapun dalil al-Ifta' dalam al-Sunnah diantaranya adalah:
a. Ajakan Rasulullah kepada semua ummatnya untuk belajar, menghilangkan kebodohan dan bertanya atas hukum Allah yang tidak mereka ketahui. Sebagaimana hadith yang diriwayatkan oleh Jabir ra berkata: pada suatu ketika, kami dalam perjalanan (musafir), dan salah satu lelaki diantara kami kepalanya tertimpa batu, di malam harinya ia bermimpi basah (Ihtilam). Kemudian tatkala bangun dari tidurnya ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya, apakah saya mendapatkan keringanan (Rukhsha) untuk bertayamum, para sahabatnya berkata: kamu tidak mendapatkan keringanan tayamum, sedangkan kamu mampu untuk menggunakan air. Maka kemudian laki-laki tersebut mandi dan meninggal dunia. ketika kami sampai di kota madinah kami mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah saw, Rasulullah berkata: mereka telah membunuhya, semoga Allah membunuh mereka, tidakkah mereka bertanya apa yang tidak mereka ketahui, sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya.
b. Hadits Aisyah ra:
Dari ‘Aisyah ra berkata : sesungguhnya Fatimah Bint Abi Hubays datang meminta fatwa kepada Rasulullah saw: "wahai Rasulullah sesungguhnya saya menggalami istihadah, apakah saya boleh meningalkan shalat?", Rasulullah berkata : "sesungguhnya itu adalah keringat, jika kamu dalam kondisi Haid maka tinggalkanlah shalat, tetapi jika kamu sudah suci, maka mandilah dan sucikan darah darimu kemudian tunaikan shalat".
3. Dalil Ijma'
Dasar fatwa menurut Ijma' adalah : Para ulama’ bersepakat pendapat sejak dari zaman Rasulullah, para sahabat, Tabi’in hingga pada zaman sekarang ini, bahwa meminta fatwa adalah sarana untuk mengetahui hukum Allah yang tidak akan pernah terlepas dari ummat ini, maka atas dasar inilah para ulama’ menyatakan bahwa hal tersebut adalah sebuah Ijma; atau konsensus semua ulama’
4. Dalil logika (Ma'qul)
Semua kehidupan yang dilalui oleh manusia tidak lepas dari hukum Allah swt, mulai dari bangun tidur, hingga tidur kembali. Orang yang mempunyai kapasitas ber-ijtihad, mampu mengetahui hukum yang ada padanya, baik dengan cara ijtihad maupun dari keterangan hukum yang telah termaktub (tertulis) dari kitab-kitab fiqh para fuqaha>' ia bisa mencari jawaban sendiri. Adapun orang awam yang tidak mempunyai pengetahuan hukum tentang apa yang dia lakukan, maka jalan satu-satunya adalah meminta fatwa kepada seorang mufti. Maka dari itu secara logika memberikan fatwa dan meminta fatwa adalah kebutuhan yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia.
ADS HERE !!!