Seorang mufti adalah khalifah Allah yang menggantikan peran Rasulullah dalam menjelaskan hukum-Nya kepada manusia, para ulama' Usuliyyin menyatakan bahwa adanya seorang mufti yang menjelaskan hukum Allah adalah wajib. Allah sendiri memerintahkan ummatnya untuk menanyakan perkara agamanya kepada para ahlinya.
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui".
Sebagaimana Allah menyuruh untuk bertanya kepada ahlul ‘ilm, maka Allah juga mewajibkan orang yang mempunyai ilmu untuk menyampaikanya dan menggajarkanya kepada Ummat manusia :
" Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima."
Setelah Allah memerintahkan para ulama' untuk menjelaskan hukum-Nya kepada umat manusia, maka kemudian Allah melarang menyembunyikan ilmu tersebut, dan melaknat orang yang menyembunyikanya.
" Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati".
Dan dalam sebuah Hadits dinyatakan:
Dari Abi Hurairah ra berkata : Rasulullah saw bersabda : barang siapa yang ditanya tentang ilmu kemudian ia menyembunyikanya, maka pada hari kiamat ia akan dicabuk dengan cambuk api neraka.
Ayat dan Hadith diatas memberikan pengertian kepada kita, bahwa hukum asal dari fatwa adalah wajib, namun melihat hukum taklifiyyah yang berjumlah lima, maka dalam hal ini penulis akan membagi hukum fatwa menjadi lima, yaitu, wujub, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
1. Wajib
Wajib disini terbagi menjadi dua, yaitu wajib 'aini dan kifai.
a. Wajib 'Aini: jika dalam suatu negara hanya ada satu orang mufti, begitu juga ketika dia tunjuk oleh waliyyul amr dan tidak ada orang yang mampu memberikan fatwa kecuali dia, atau jika
dikhawatirkan hukum tersebut berlalu tanpa adanya keputusan.
b. Wajib Kifa’i: yaitu jika dalam sebuah negara ada dua orang mufti atau lebih, maka jika salah satu diantara mereka ada yang sudah berfatwa lebih dahulu, maka mufti- mufti yang lain tidak wajib
mengeluarkan fatwa.
 |
Fatwa |
Adapun beberapa hal yang menyebabkan fatwa tersebut menjadi wajib adalah:
1) Hendaknya seorang mufti tersebut mengetahui hukum yang ditanyakan kepadanya, tetapi jika ia tidak mengetahuianya sedang ia mampu untuk berijtihad, maka dalam hal ini wajib atasnya untuk berijtihad dan memfatwakanya., hal ini dikarenakan agar ia tidak mengeluarkan fatwa yang tidak ia ketahui.
2) Jika Permasalahan tersebut benar-benar terjadi, oleh karena itu jika pertanyaan yang ditanyakan tersebut belum terjadi dan hanya bersifat kemungkinan-kemungkinan, maka seorang mufti tidak wajib menjawabnya.
3) Ketika fatwa tersebut tidak mengandung d{arar (bahaya) yang meresahkan umat, karena jika fatwa tersebut mengandung d{arar seperti fatwa politik, penghalalan darah seseorang, maka fatwa tersebut menjadi haram.
2. Nadb (Sunnah)
Seorang mufti sunnah menggeluarkan fatwa dalam hal-hal yang belum terjadi, kemungkinan-kemungkinan yang akan datang, sebagaimana dalam Madhab Hanafi yang meninggalkan ribuan furu' fiqhiyyah yang belum terjadi.
3. Karaha (Makruh)
Pada permasalahan yang belum terjadi di atas jika dikaitkan dengan zaman sekarang, maka penulis lebih cenderung mengatakan bahwa hukum fatwa dalam hal ini adalah makruh tanzi>h. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan antara zaman kita dengan zaman Imam Abu Hanifah al-Nu’man, adapun hal yang melandasi penulis diatas adalah :
a. Hadith Nabi
"Orang yang paling berani mengeluarkan fatwa diantara kalian adalah orang yang paling berani masuk neraka".
Pada zaman sekarang ini banyak tayangan-tayangan fatwa di Televisi para pemberi fatwa menjawab segala macam persoalan yang belum terjadi, yang mana mereka hanya mengandalkan koleksi hafalan al-Qur'an dan Sunnah mereka. Maka tidak heran jika fatwa-fatwa ini menimbulkan fitnah di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwa menyampaikan fatwa bukanlah pekerjaan menyampaikan al-Qur’an atau hadith, tetapi menggali hukum yang termaktub di dalam keduanya. Berikut ini beberapa alasan kenapa fatwa tersebut hukumnya makruh.
b. Kurangnya sifat wara' dan taqwa pada kebanyakan orang, yang mana banyak dari mereka tidak melakukan perintah agama yang sudah lazim, seperti shalat, infaq, dan puasa.
c. Menghindari fitnah, perpecahan dan ‘as{abiyyah (fanatisme) yang kian merajalela, banyak orang meminta fatwa untuk menguatkan golonganya. Menanyakan sesuatu yang tidak ada, maka dari itu dalam sebuah hadits Rasulullah membenci hal ini.
d. Banyaknya mustafti menanyakan hal-hal yang belum terjadi yang mengandung d{arar baik atas dirinya sendiri maupun orang lain, maka ketika mustafti melakukan hal yang membahayakan dirinya atau orang lain dia berdalih bahwa hal tersebut diperbolehkan oleh Mufti.
4. Haram
Sebuah fatwa dihukumi haram jika yang mengeluarkan fatwa tersebut adalah orang yang jahil (bodoh)yang tidak mempunyai perangkat dalam menentukan hukum. Orang seperti ini cenderung melakukan kesalahan-kesalahan dalam setiap apa yang dilakukanya, maka dari itu secara tegas al-Qur’an melarangnya:
" Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung" .
Dan dalam hadith Nabi juga dinyatakan:
"Barang siapa yang diberikan fatwa yang tidak berlandaskan Ilmu, maka dosanya atas orang yang memberikan fatwa tersebut".
"barang siapa yang memfatwai manusia tanpa landasan ilmu, maka malaikat langit dan bumi akan melaknatnya".
Hal semacam inilah yang menjadi fitnah terbesar yang dialami oleh ummat kita saat ini, banyak orang-orang yang tidak mempunyai adawa>t ijtihad yang memadai memberikan fatwa secara membabi buta, baik di media elektronik yang disiarkan secara Live, seperti Televisi, streaming atau yang lainya, maupun di media cetak yang dimuat di Majalah dan Koran.
Munculnya orang-orang seperti inilah yang menyebabkan hancurnya sendi-sendi agama. Hal ini sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkan Oleh Bukhari dan Muslim:
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari manusia sekaligus, tetapi mencabutnya dengan mencabut (mematikan) Ulama', sehingga ketika tidak ada orang alim, maka orang-orang menjadikan pemimpin-pemimpin mereka dari orang-orang bodoh, mereka bertanya kepadanya, kemudian ulama' mereka memberikan fatwa tanpa didasari ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan".
Lebih dari itu banyak kita saksikan banyak diantara mereka yang mengklaim dirinya adalah seorang mujtahid, dan hanya fatwanyalah yang paling benar yang harus diikuti, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengikuti fatwanya dengan mengikuti fatwa selainya, maka dengan tidak segan-segan mereka membid’ahkan, menyalahkan, bahkan tidak segan-segan mengkafirkanya.
Dalam historis para sahabat dan ulama'-ulama' sebelum kita, kita menemukan bahwa mereka sangat berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa, ketika para sahabat dimintai fatwa mereka menggalihkanya kepada sahabat lain, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bara'. Abu Y’ala berkata :
"Sesungguhnya saya mendapati seratus duapuluh sahabat Anshar, ketika salah seorang mereka bertanya kepada yang lain, sahabat tersebut mengalihkanya kepada sahabat yang lain, hingga pertanyaan tersebut kembali lagi kepada sahabat yang bertanya.
Fitnah yang terjadi pada zaman kita sekarang adalah banyak para mufti-mufti kanak-kanak yang memberikan fatwa secara sembarangan, menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan kepadanya walaupun tidak pada bidang yang digelutinya. menanggapi hal tersebut Ibn Mas'ud berkata :
"Barang siapa yang memberikan fatwa kepada manusia pada setiap apa yang ditanyakan kepadanya, maka dia adalah orang gila".
Oleh karena itu diam dan berkata wallahu 'alam lebih baik dari pada memberikan fatwa yang tidak diketahuinya. Muhammad Ibn 'Ajlan mengatakan : "jika seorang 'Alim lupa kemudian dia berkata la adri (saya tidak tahu), maka perkataanya itulah yang paling benar dari dia berkata
dalam kondisi lupa.
Ibn Hamdan menuturkan : "suatu ketika al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakar ditanya oleh seseorang", dia menjawab jawabanku tidak terlalu baik (la ahsanahu), kemudia laki-laki tersebut berkata: "sesungguhnya aku datang kepadamu, karena saya tidak tahu orang yang lebih alim dari padamu, al-Qasim berkata: "jangan engkau melihat panjangnya jenggotku, dan banyaknya orang yang menggelilingiku, demi Allah aku tidak pantas untuk menjawabnya", kemudian seorang Syaikh berkebangsaan Qurays yang duduk disampingnya berkata: "wahai anak saudaraku, penuhilah pertanyaanya, demi Allah pada hari ini, aku tidak melihat orang yang lebih cerdas darimu", al-
Qasim berkata: "Demi Allah aku lebih suka dipotong lidahku, dari pada aku berfatwa dengan apa yang tidak saya ketahui".
Demikianlah kehati-hatian para ulama' dalam mengeluarkan fatwa, bahkan Imam Malik ra tidak mau berfatwa, jika fatwa tersebut dipandang tidak baik dan tidak ada manfaatnya bagi mustafti.
Abu Nu'aim menuturkan: "saya tidak pernah melihat orang alim yang sering mengatakan la> adri, dari pada Malik Ibn Anas ketika ditanya". Hal serupa juga dilakukan oleh al-Sy’abi faqihul Iraq tatkala ditanya tentang sesuatu kemudian dia berkata: La adri, dikatakan kepadanya: apakah engkau tidak malu mengatakan : La adri padahal engkau adalah pakar fiqhnya penduduk Irak, al-Sya'bi berkata: sesungguhnya para malaikat tidak malu ketika berkata : Qalu subhanaka la 'Ilma lana illa ma 'allamtana". Imam al-Syafi'i, Ahmad, Sahnun juga sering mengatakan La adri ketika dimintai
fatwa, mereka lebih suka diam dari pada menjawab pertayaan. Imam Ahmad berkata: barang siapa yang menawarkan dirinya untuk berfatwa, maka sesungguhnya dia telah menawarkan dirinya pada bahaya yang besar kecuali dalam keadaan d{aru>rah, dikatakan kepadanya: manakah yang lebih engkau sukai, antara diam dan berfatwa: Imam Ahmad berkata : sesungguhnya diam lebih aku sukai dari pada berkata, kecuali dalam keadaan darurah.
Uqbah Ibn Muslim berkata : "saya menemani Ibn Umar selama tigapuluh empat bulan, ketika ditanya tentang sesuatu dia sering bilang Laadri ". diriwayatkan bahwa Sa'id Ibn Musayyib seorang tabi'in hampir tidak pernah berfatwa sepanjang hidupnya, dan ia selalu berdoa: "Ya Allah
selamatkanlah saya dari fitnah fatwa, dan selamatkan saya dari fatwa yang muncul dari saya".
Inilah gambaran wara' dan kehati-hatian para ulama' salaf kita dalam masalah fatwa, berbeda dengan para ulama' sekarang yang suka ditanya tentang berbagai permasalahan agama.
Bisyr al-Hafi menuturkan: Barang siapa yang suka ditanya, maka sesungguhnya dia tidak layak untuk ditanya".
Suatu ketika Rabi'ah al-Ra'yah pernah terlihat menangis tersedu-sedu, datanglah seorang kepadanya dan bertanya, apa yang membuat engkau menangis? Rabi'ah menjawab: "aku menangisi seorang laki-laki yang tidak mempunyai ilmu dimintai fatwa, sebab inilah akan muncul fitnah besar dalam agama Islam, orang semacam lebih pantas dipenjara daripada orang yang mencuri".
Maka dari itu Imam al-Syafi' membuat syarat yang sangat rumit bagi seorang mufti, yang mana syarat tersebut seakan-akan tidak bisa dipenuhi kecuali seorang Nabi.
Hal selanjutnya hukum fatwa menjadi haram adalah, memberikan fatwa kepada mustafti, yang mana ia ingin menjadikannya sebagai alasan atas kebatilan yang dilakukanya, yang mana ketika dia melakukan hal tersebut, dia berkata : sesungguhnya apa yang saya lakukan ini dibolehkan oleh agama sebagaimana yang difatwakan oleh Fulan.
Adapun hal terahir yang melatar belakangi hukum fatwa menjadi haram adalah jika fatwa tersebut bersebrangan dengan dalil-dalil Qat’{i yaitu al-Qur'an sunnah dan Ijma', seperti fatwa tidak wajibnya shalat fardhu, puasa, haji tidak harus di Makkah, dan seorang wanita boleh menjadi Imam laki-laki, dibolehkanya kawin sesama jenis, seperti yang dikemukakan oleh orang-orang liberal.
5. Mubah
Adapun hukum fatwa terahir adalah Mubah, yaitu pada hal-hal yang selain disebutkan diatas.